Sabtu, 07 Mei 2016

Cat Kuku

Cat kukumu tumpah
Sampai-sampai
Anai-anai
                Coklatmu juga tumpah
                Hingga
                Aku tenggelam
Kenapa sejak aku terperosok
Kau juga turut memuntahkan
Isi perut dalammu?
Yang pasti babi-babi berlumpur itu
Turut menyatakan kutukan pada rima
Nyata sekali kau tak patut
Sebab,
Kau adalah pujian terpuji
Bukan kutukan terkutuk
Sepertiku
                Yah, lihat saja bulan
                Ketika tenggelam
                Ataupun timbul
                Sudikah bintang menyeretkan
                Dirinya?
Dalam buku notamu merah, aku tahu
Seperempat jiwamu hilang, aku tahu
Meja kuningmu terbalik, aku tahu
Dan aku juga tahu bahwa rantaimu
Tak bisa dan tak lepas atau tertahan
Di atas realita pudar, suramku

Maaf…

Kamis, 21 April 2016

Batu Karang

Sejak aku terjerembab di atas bebatuan terjal, maka tak seorang pun mencuil sepercik air tawar. Sebab kata mereka, aku adalah pembawa kehancuran realitas. Memang keberuntungan tak selalu berpihak. Keberuntungan selalu membanalu seenaknya sendiri tanpa memperdulikan apapun. Dunia sebagai tempat persinggahan. Dan keberuntunganku pada batu karang. Anggap saja seperti itu. Disaat aku membelot dari kenyataan, di saat aku menyingkap kebohongan atau kriminalitas yang enggan ku sebarkan, ketika itu bekatku sebagai seorang pengkhianat telah membuncah. Sehingga tak ku pedulikan lagi apa kata orang. Ku teruskan saja membiarkan ombak mendebur karang. Jika memang aku harus melompati satu persatu batu karang terjal dengan melata. Menghindari percikan ombak asin. Nemun, saat aku berjongkok di atas batu karang yang teramat kecil hingga seperempat kedua telapak kakiku, maka aku akan basah dan menunggu nyala lampu mercusuar mengarah ke langit. Diam atau mati. Tentang kehidupan yang berputar, berjalan, berlalu, berlanjut. Akulah mayat hidup, tanpa hati, tanpa perasaan, tak berotak, tanpa nurani. Remah kisah kehidupan menyerupai ubi jalar. Ya, akulah si hina yang selalu hanya menjalar di balik timbunan lapisan pasir…



Tak baik sebenarnya kenyataan benar dalam memuji diri hingga terhina. Di alam nyata semu maya, itu bukanlah jaminan keserokan harga diri. Mungkin kau teramat cebol kerdil di antara raksasa. Kau raksasa. Namun saraf motorik atau sensorik yang sadar itu lebih dan lebih bertaraf. Renungi diri hingga sajak bergolak dan mulai meninggalkan pujangganya. Ingat! Kau masih berdiri di tepian jurang dan kau akan tetap di sana sampai suatu hari nanti, kau telah sampai di pucuknya. Hanya tinggal melompat dan berhentilah sudah roda dunia. Sayangnya semua itu salah kaprah. Hanya saja kumbang menilik pada bunga ratapan. Itu pun kaku. Kau yang tak pernah mencoba di atas bukit. Selalu saja batu karang yang tegar kau jadikan pedoman. Sungguh saying sekali. Sebab betapapun tingginya batu karang yang menyentuh langit, pasti selalu terangkul basah oleh zat air. Dan luluh lantaknya keretakan menjadikannya tersipu. Hakekat batu keras, namun sebenarnya lembut. Renggut saja pada lubang yang menonjol. Maka temukan sebentuk kerindangan hati dari dalamnya. Meski hitamnya lubang tonjol itu tak terkira.

Rabu, 20 April 2016

AJENG


Ajeng…
Sang penyapa mentari
Di tepi bukit ufuk timur
Dengan selempang selendang
Menyatu dengan air bambu
Yang menyuling
Di permukaan danau
Terjun dengan sejuta bintang
Menjadikannya seorang

Bidadari langit